Selasa Sore, HTI Ajukan Gugatan Uji Materi Perppu Ormas ke MK
Selasa, 18 Juli 2017
Edit
BACA JUGA:
Gabedo.com - Hizbut Tahrir Indonesia ( HTI) dan sejumlah ormas Islam akan
mengajukan gugatan uji materi Perppu No 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan ( Perppu
Ormas) ke Mahkamah Konstitusi pada Selasa (18/7/2017).
HTI sebagai pemohon gugatan akan didampingi kuasa hukumnya,
Yusril Ihza Mahendra.
"Hari ini, HTI dan sejumlah Ormas Islam lain dengan
kuasa hukum Prof Dr Yusril Ihza Mehendra akan mengajukan gugatan uji materi
Perppu No 2 tahun 2017 ke Mahkamah Konstitusi pukul 15.00 WIB," ujar juru
bicara HTI Ismail Yusanto, saat dikonfirmasi, Selasa (18/7/2017).
Dalam sebuah konferensi pers menolak penerbitan Perppu
Ormas, Rabu (12/7/2017), Yusril mengatakan, gugatan tersebut bertujuan untuk
membatalkan pasal-pasal yang mengatur kewenangan pemerintah dalam mencabut
status badan hukum dan membubarkan ormas.
Menurut Yusril, pada Perppu Ormas terdapat beberapa pasal
yang bersifat karet, tumpang tindih dengan peraturan hukum lain dan berpotensi
menimbulkan ketidakpastian hukum.
Dia mencontohkan, Pasal 59 ayat (4) sebagai salah satu pasal
yang bersifat karet.
Pada bagian penjelasan Pasal 59 Ayat (4) Huruf c
menyebutkan, "Ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila antara
lain ajaran ateisme, komunisme/marxisme-leninisme, atau paham lain yang
bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun
1945."
Namun, lanjut Yusril, Perppu tersebut tidak menjelaskan
secara detail mengenai penafsiran paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Di sisi lain, penafsiran sebuah paham tanpa melalui
pengadilan akan memunculkan tafsir tunggal dari pemerintah.
"Pasal ini karet karena secara singkat mengatur paham
seperti apa yang bertentangan dengan Pancasila. Dalam bagian penjelasan tidak
mengatur norma apapun," kata dia.
"Dan penafsiran sebuah ajaran, kalau tidak melalui
pengadilan, maka tafsir hanya berasal dari pemerintah. Tafsir anti-Pancasila
bisa berbeda antara satu rezim dengan rezim yang lain. Pemerintah bisa semaunya
menafsirkan," ujar Yusril.
Yusril juga menyoroti Pasal 59 ayat (4) huruf a mengenai
larangan ormas melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras atau
golongan.
Dia menegaskan ketentuan dalam pasal tersebut juga diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan sanksi hukum yang berbeda.
Dengan begitu, kata Yusril, tumpang tindih peraturan akan
menimbulkan ketidakpastian hukum.
"Pasal 59 mengenai larangan tindakan permusuhan SARA
itu sudah diatur dalam KUHP, tapi sanksinya berbeda. Jadi mau pasal mana yang
akan dipakai. Hal ini menunjukkan tidak ada kepastian hukum," kata Yusril.
Selain itu, Yusril juga mengkritik mengenai penerapan
ketentuan pidana dalam Pasal 82A.
Pasal itu menyatakan bahwa anggota atau pengurus ormas bisa
dipidana penjara jika melanggar ketentuan Perppu.
Sebelumnya ketentuan mengenai penerapan sanksi pidana tidak
diatur dalam UU Ormas.
"Ini kan tidak jelas. Pasal 59 mengatur hal-hal yang
dilarang dilakukan oleh organisasi, tapi di pasal 82A mengatur pidana yang
menghukum orang," kata Yusril.
Perppu Nomor 2 Tahun 2017 resmi diumumkan oleh Menko
Polhukam Wiranto pada Rabu (12/7/2017) siang.
Perppu ini menghapus pasal yang menyebut bahwa pembubaran
ormas harus melalui pengadilan.
Pembubaran dengan cara pencabutan badan hukum bisa langsung
dilakukan oleh pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri atau Menkumham.
Perppu ini dibuat setelah pemerintah mengumumkan upaya
pembubaran terhadap Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dianggap anti-Pancasila.
