Keadilan bagi Guru Ngaji yang Diperkosa dan Buang Bayinya
Jumat, 28 Juli 2017
Edit
BACA JUGA:
Gabedo.com - Tangis haru menyelimuti suasana ruang sidang ketika hakim
membacakan putusan untuk BL (16), pembantu rumah tangga sekaligus guru ngaji
yang didakwa melukai bayinya hingga meninggal dan membuangnya di tempat sampah,
Kamis (28/7/2017).
Setelah sempat dijebloskan ke penjara, BL bersyukur masih
ada kesempatan baginya untuk mengenyam pendidikan dan meniti masa depan yang
lebih baik.
Mata BL terlihat merah karena menangis usai mendengar ia
dinyatakan bersalah, namun hanya dihukum untuk pembinaan di Panti Sosial Mardi
Putera (PSMP) Handayani milik Kementerian Sosial.
Majelis hakim menilai BL membuang bayinya karena
ketidaktahuan soal kehamilan dan persalinan.
Dalam pertimbangannya, hakim membacakan bahwa pada 2016
silam, BL berkenalan melalui Facebook dengan Ino, pemuda berusia 21 tahun yang
tinggal di Cikeusik pula namun beda RW. Hingga suatu hari, Ino mengajak BL ke
rumah temannya.
Di sana, BL dipaksa berhubungan badan meski sudah menolak,
memberontak, dan berteriak. BL pun pulang, tak menanggapi komitmen Ino yang
mengaku siap menikahinya jika terjadi apa-apa. BL juga tak memberitahukan
peristiwa ini pada orangtuanya.
Dua bulan kemudian, tanda-tanda kehamilan terjadi. BL mual
dan pusing, sehingga dibawa orangtuanya untuk pemeriksaan di puskesmas.
Dokter di puskesmas menyatakan BL hanya mengalami maag. BL
juga masih menstruasi meski dalam jumlah yang lebih sedikit. Ia tak tahu dan
tak yakin dirinya hamil.
"Anak berhenti sekolah di SMK 5 Pandeglang dan timbul
keinginan bantu ekonomi keluarga dengan bantuan penyalur hingga menjadi
pembantu di Jalan Haji Jian 2B Jakarta Selatan," kata ketua majelis hakim,
Fahimah Basyir, Kamis (27/7/2017).
Kemudian pada 1 Mei 2017, sebulan setelah BL bekerja di
rumah itu, sekitar pukul 05.00 ia merasakan sakit yang tidak biasa di perutnya.
Ia mencoba buang air besar namun tak bisa.
Hingga kemudian gumpalan besar keluar dari perutnya namun
menyangkut. Dalam keadaan setengah tersangkut itu, BL mengambil pisau di dapur
dan ke kamar mandi untuk mengeluarkan gumpalan itu.
Ia kemudian memasukkan gumpalan itu ke kantong plastik hitam
dan mengikatnya. Kantong berisi bayi dan ari-ari itu hanya dibuangnya ke tempat
sampah dapur.
Keterangan majikan dalam persidangan sebelumnya menunjukkan
bahwa ketika diterima kerja, BL tidak tampak seperti orang hamil.
Sebab jika mereka tahu atau curiga hamil, BL tidak akan diterima
kerja. Keterangan ini diperkuat oleh dokter kandungan yang mengatakan ketika
hamil, dimungkinkan bahwa perempuan masih menstruasi dan tidak bertambah berat
badannya.
Ini umumnya terjadi pada mereka yang hamil pertama kali, di
usia sangat muda, atau terjadi gangguan dalam kehamilannya.
Meski sempat diperdebatkan penyebab bayi yang dilahirkan BL
meninggal, hakim meyakini bahwa yang membuat bayi itu meninggal adalah sayatan
pisau yang tak sengaja memotong leher bayi dan juga ikatan kantong plastik yang
membuat bayi tak bisa selamat.
Tak seperti jaksa yang menuntut BL delapan tahun penjara
karena tuduhan membunuh bayinya, hakim dalam pertimbangannya mengakui BL adalah
korban perkosaan dan korban kemiskinan.
Setelah diperkosa, di usia yang sangat belia, ia harus
bekerja membanting tulang, di mana seharusnya ia mendapat kasih sayang dan
pendidikan.
"Anak melahirkan bayi yang tidak diduga sama sekali,
dalam peristiwa yang dialaminya, ia mendapat tekanan batin dan trauma,"
ujar hakim.
"Air mata anak sering keluar, raut wajah tertekan,
terlihat bahwa anak tipe anak dengan tingkah laku tidak menyimpang, sangat
polos, anak yang pintar dan juara kelas dari hasil rapor, dan keadaan buruk di
kampungnya diisi dengan mengajar anak SD membaca Qur'an. Anak mengalami
kehamilan bukan karena hubungan yang dikehendaki," tutur hakim.
Atas dasar pertimbangan ini, hakim pun menolak tuntutan
jaksa dan menjatuhi hukuman bimbingan di panti sosial sesuai rekomendasi Badan
Pemasyarakatan (Bapas).
"BL, janji kepada diri sendiri untuk jadi orang yang
sukses, berbakti pada orangtua. Buktikan itu, jadikan pengalaman ini berharga,
jalani dengan baik," pesan hakim usai membacakan putusan.
Rini Handayani, Asisten Deputi Perlindungan Anak dari
Kekerasan dan Eksploitasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak mengapresiasi vonis majelis hakim.
Menurutnya, ini merupakan terobosan bagi kasus hukum, dengan
putusan yang sensitif terhadap kepentingan anak dan dalam pertimbangannya juga
sangat cermat.
"Dan salah satu hakim, beliau felah mengikuti pelatihan
sistem peradilan anak, jadi memang itu sangat bermanfaat," ujar Rini.
Rini mengatakan pihaknya terus berusaha mencegah terjadinya
masalah ini dengan menerapkan perlindungan terpadu berbasis masyarakat.
BL dan anak lainnya diangap masih polos dan butuh bimbingan
dari orang dewasa. Tanpa adanya bimbingan yang tepat, peristiwa seperti yang
dialami BL bisa menimpa siapa saja.
"Anak harus dirangkul, dia takut mengatakan apa yang
terjadi kepada orangtuanya, dan ini dilakukan melalui forum keluarga,"
kata Rini.
