Yusril: NU Juga Bisa Bubar Melalui Perppu Ormas
Selasa, 18 Juli 2017
Edit
BACA JUGA:
Gabedo.com - Kuasa hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Yusril Ihza
Mahendra mengatakan, semua organisasi kemasyarakatan (Ormas) berpotensi
dibubarkan oleh pemerintah berdasarkan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 17 tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan ( Perppu Ormas).
"Jadi saya ingatkan ke semua pimpinan ormas jangan
senang dulu. Sekarang ada yang senang kan, antusias. Ini bisa berbalik ke
semua. NU juga bsa bubar dengan ormas ini karena itu kita harus hati-hati
dengan perkembangan ini," ujar Yusril usai mendampingi Jubir HTI
mengajukan gugatan uji materi Perppu Ormas di gedung Mahkamah Konstitusi (MK),
Jakarta Pusat, Selasa (18/7/2017).
Menurut Yusril, beberapa pasal dalam Perppu Ormas berpotensi
memberangus kebebasan berserikat. Ditambah lagi dengan ketidakjelasan definisi
ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Selain itu, Yusril juga mengkritik penerapan asas contrarius
actus yang memberikan kewenangan Mendagri dan Menkumham mencabut status badan
hukum ormas. Yusril mengatakan, pencabutan status ormas hanya bisa dilakukan
melalui pengadilan.
"Asas contrarius actus itu enggak bisa diterapkan ke
ormas. Itu untuk kasus administrasi pemerintahan dalam kaitan pemberhentian
kepegawaian, misalnya pegawai PNS," kata Yusril.
"Tapi kalau ormas kan bukan diangkat dalam jabatan.
Ormas dipisahkan sebagai badan hukum atau didaftarkan sebagai organisasi. Tidak
bisa dibubarkan dengan asas contrarius actus," ucapnya.
Sebelumnya, Yusril sempat mengkritik beberapa pasal sebagai
dasar mengugat uji materi Perppu Ormas. Pasal-pasal tersebut dinilai bersifat
karet, tumpang tindih dengan peraturan hukum lain dan berpotensi menimbulkan
ketidakpastian hukum.
Dia mencontohkan pasal 59 ayat (4) sebagai salah satu pasal
karet. Pada bagian penjelasan Pasal 59 Ayat (4) Huruf c menyebutkan,
"ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila antara lain ajaran
ateisme, komunisme/marxisme-leninisme, atau paham lain yang bertujuan
mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945."
Namun, lanjut Yusril, Perppu tersebut tidak menjelaskan
secara detil mengenai penafsiran paham yang bertentangan dengan Pancasila. Di
sisi lain, penafsiran sebuah paham tanpa melalui pengadilan akan memunculkan
tafsir tunggal dari pemerintah.
"Pasal ini karet karena secara singkat mengatur paham
seperti apa yang bertentangan dengan Pancasila. Dalam bagian penjelasan tidak
mengatur norma apapun," kata dia.
"Dan penafsiran sebuah ajaran, kalau tidak melalui
pengadilan, maka tafsir hanya berasal dari pemerintah. Tafsir anti-Pancasila
bisa berbeda antara satu rezim dengan rezim yang lain. Pemerintah bisa semaunya
menafsirkan," ucapnya.
Yusril juga menyoroti pasal 59 ayat (4) huruf a mengenai
larangan ormas melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras atau
golongan.
Dia menegaskan ketentuan dalam pasal tersebut juga diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan sanksi hukum yang berbeda.
Dengan begitu, kata Yusril, tumpang tindih peraturan akan menimbulkan
ketidakpastian hukum.
"Pasal 59 mengenai larangan tindakan permusuhan SARA
itu sudah diatur dalam KUHP, tapi sanksinya berbeda. Jadi mau pasal mana yang
akan dipakai. Hal ini menunjukkan tidak ada kepastian hukum," kata Yusril.
Selain itu, Yusril juga mengkritik mengenai penerapan
ketentuan pidana dalam pasal 82A. Pasal itu menyatakan bahwa anggota atau
pengurus ormas bisa dipidana penjara jika melanggar ketentuan Perppu.
Sebelumnya ketentuan mengenai penerapan sanksi pidana tidak diatur dalam UU
Ormas.
"Ini kan tidak jelas. Di pasal 59 mengatur hal-hal yang
dilarang dilakukan oleh organisasi, tapi di pasal 82A mengatur pidana yang
menghukum orang," tuturnya.