Demokrat Minta Jokowi Pecat Yasonna untuk Buktikan UU MD3 Bukan Pencitraan
Kamis, 22 Februari 2018
Edit
BACA JUGA:
Gabedo.com - Presiden Joko Widodo diminta mengambil tindakan tegas
terhadap Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly. Sebab, Yasonna
tidak memegang dengan baik amanah yang diberikan Jokowi untuk membahas
Undang-Undang tentang MPR, DPR dan DPRD ( UU MD3).
Yasonna mengakui baru melapor ke Presiden mengenai sejumlah
pasal kontroversial dalam UU tersebut setelah disahkan dan mendapatkan
penolakan luas dari masyarakat.
"Kalau itu yang terjadi simpel saja, pecat pemegang
amanah apabila tidak bisa dipercaya atau menyalahgunakan," kata Sekretaris
Fraksi Partai Demokrat Didik Mukrianto dalam keterangan tertulisnya, Kamis
(22/2/2018).
Didik mengatakan, Yasonna adalah menteri yang diutus
langsung oleh Presiden untuk membahas revisi UU MD3 bersama DPR. Penunjukan
Yasonna secara resmi tertuang dalam surat presiden yang dikirim ke Senayan
sebelum pembahasan revisi UU MD3 dimulai.
Sampai tahap pengesahan di Rapat Paripurna, Yasonna tak
menyampaikan keberatan dan menyetujui sepenuhnya revisi UU MD3 disahkan menjadi
UU. Didik pun heran kenapa kini Jokowi berniat untuk tidak menandatangani UU
MD3 yang sudah disahkan bersama-sama antara DPR dan pemerintah itu.
Padahal, tanpa ditandatangani Jokowi, UU MD3 juga otomatis
tetap berlaku setelah 30 hari disahkan. Ia mencurigai langkah ini dilakukan
demi pencitraan, karena sejumlah pasal di UU MD3 saat ini mendapatkan kritik
dari publik.
"Apa yang akan terjadi dengan semua pembahasan RUU
kedepan, publik bisa miss persepsi karena adanya hasrat untuk
pencintraan," kata Didik.
Apabila Jokowi memang tidak pencitraan, Didik meminta hal
tersebut dibuktikan dengan mengambil langkah tegas terhadap Yasonna. Selain
itu, Didik juga meminta Jokowi menerbitkan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang (Perppu) untuk mengoreksi sejumlah pasal kontroversial di UU MD3.
Setidaknya, ada tiga pasal dalam UU MD3 yang mendapat
penolakan dari publik karena dianggap memberi kekuasaan berlebih ke DPR.
Dalam pasal 73, polisi diwajibkan membantu memanggil paksa
pihak yang diperiksa DPR namun enggan datang.
Lalu, pasal 122 huruf k, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD)
bisa mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap pihak yang
merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Ada juga pasal 245 yang mengatur bahwa pemeriksaan anggota
DPR oleh aparat penegak hukum harus dipertimbangkan MKD terlebih dahulu sebelum
dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin.
"Jangan hanya mengumbar wacana, Presiden bisa
mengeluarkan Perppu. Kita tunggu langkahnya," kata dia.
"Tanggung jawab kelembagaan dalam perspektif
ketatanegaraan tidak bisa di bundling dengan citra palsu, apalagi sesat.
Sebagai pejabat, sikap kenegarawanan yang dibutuhkan," tambahnya.
Tak lapor presiden
Menkumham Yasonna Laoly sebelumnya mengakui tak melaporkan
dinamika pembahasan UU MD3 kepada Presiden Jokowi. Akhirnya, DPR dan pemerintah
pun mengesahkan UU MD3 itu tanpa sepengetahuan Jokowi. Yasonna baru melapor ke
Jokowi setelah UU MD3 ramai mendapat penolakan dari masyarakat.
"Waktunya itu kan sangat padat, jadi baru tadi (Selasa
kemarin) saya melaporkan," ujar Yasonna saat dijumpai di Kompleks Istana
Presiden, Jakarta, Selasa (20/2/2018).
Presiden Jokowi mengaku mengamati reaksi masyarakat terhadap
UU MD3.
"Saya memahami keresahan-keresahan yang ada di
masyarakat," ujar Kepala Negara saat ditemui di Kompleks Asrama Haji
Pondok Gede, Jakarta Timur, Rabu.
"Banyak yang mengatakan, ini hukum dan etika, kok,
dicampur aduk. Ada yang mengatakan, politik sama hukum, kok, ada campur aduk,
ya, itu pendapat-pendapat yang saya baca, yang saya dengar di masyarakat,"
lanjutnya.
Oleh karena itu, Presiden Jokowi belum menentukan apakah
akan menandatangani UU itu atau tidak. Meski lembaran pengesahan UU itu sudah
ada di atas mejanya, ia masih mengkaji dan menimbang-nimbang akan
menandatanganinya atau tidak.
Jokowi juga menegaskan bahwa ia tidak akan menerbitkan
Perppu untuk mengoreksi UU MD3.
