Tak Mau Teken UU MD3, Jokowi Diminta Contoh SBY
Rabu, 21 Februari 2018
Edit
BACA JUGA:
Gabedo.com - Presiden Joko Widodo enggan menandatangani revisi
Undang-Undang MD3 yang telah disetujui bersama antara pemerintah dan DPR.
Hal itu diungkapkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pada
Selasa (20/2/2018). Sikap ini menuai kritik.
Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi
(Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan, sikap
Presiden akan menjadi cerminan buruknya manajemen pemerintahan.
"Patut ditinjau ulang dan Presiden sebaiknya menempuh
cara yang lebih tepat dan efektif secara ketatanegaraan dalam merespons desakan
publik," kata Bayu dalam keterangannya kepada wartawan, Rabu
(21/2/2018).
Ia kemudian mencontohkan kasus yang hampir sama pada era
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Saat itu, SBY memilih mengeluarkan perppu setelah UU Pilkada
diundangkan. Alasannya karena mayoritas publik menolak aturan kepala daerah
dipilih DPRD dalam UU tersebut.
"Kami berharap bahwa Presiden mendengar aspirasi
mayoritas publik yang menolak beberapa substansi dalam RUU perubahan UU MD3
yang telah disetujui DPR dan Presiden," ujarnya.
"Tetapi, langkah menindaklanjuti aspirasi dan desakan
tersebut harus tetap dilaksanakan sesuai koridor konstitusi dan praktik
ketatanegaraan Indonesia," lanjut Bayu.
Bayu mengatakan, sikap Presiden yang tidak segera
menandatangani UU MD3 justru menghambat publik untuk segera melayangkan
permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Karena hukum acara MK mensyaratkan hanya UU yang telah
disahkan Presiden dan diundangkan yang dapat jadi obyek pengujian di MK,"
katanya.
Selain itu, lanjut Bayu, tidak menandatangani RUU yang telah
disetujui bersama dengan DPR tidak akan berpengaruh secara hukum.
RUU tersebut tetap akan berlaku dengan sendirinya setelah 30
hari sejak disetujui dalam paripurna.
"Jika Presiden mau, setelah mengesahkan dan
mengundangkan RUU Perubahan UU MD3, dapat menerbitkan perppu yang menghapus
pasal-pasal dalam perubahan UU MD3 yang ditolak mayoritas publik," kata
Bayu.
Bayu mengatakan, penerbitan perppu itu dijamin Pasal 22 Ayat
(1) UUD Tahun 1945 dan tafsir putusan MK tahun 2009 atas makna “kegentingan
yang memaksa”.
